PERENCANAAN WILAYAH PEDESAAN
PAPER
PERENCANAAN WILAYAH PEDESAAN
DISUSUN OLEH
YUDDY MEIYUDHA SUPHARMAN
04.1.16.0896
JURUSAN
PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
POLITEKNIK
PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR
2018
KONSEP
PEMBANGUNAN PEDESAAN
Definisi pembangunan telah dikemukakan oleh
berbagai ahli di seluruh dunia dengan sudut pandang yang beragam. Pada intinya,
pembangunan adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran
dari suatu keadaan kehidupan nasional menuju keadaan baru yang lebih baik (Katz
dalam Ndraha, 1987:30). Perubahan sosial tersebut meliputi berbagai aspek
kehidupan dan berlangsung secara terus menerus.
Perhatian pembangunan perlu diarahkan kepada
pembangunan perdesaan, karena sebagian besar wilayah Indonesia meliputi wilayah
pedesaan. Hal tersebut diperkuat lagi oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat
perdesaan masih diliputi dengan masalah kemiskinan, keterbelakangan dan
berbagai kerawanan sosial lainnya. Perlu usaha yang terencana untuk membangun
sarana-prasarana pedesaan, kemandirian ekonomi desa (produksi dan distribusi)
dan infrastruktur pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik (Khoiron, 2003:3). Pemerintah pun telah menjadikan
pembangunan pedesaan menjadi program utama nasional.
Mubyarto dan Kartodirdjo (1988:69-70)
mendefinisikan pembangunan pedesaan sebagai pembangunan yang berlangsung di
pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan
secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotongroyong. Pembangunan pedesaan
ini dijabarkan dalam berbagai program pembangunan pedesaan yang melingkupi
berbagai aspek. Nimal A. Fernando (2008) menyebutkan ada 3 aspek (dimensi)
dasar dalam pembangunan pedesaan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan
dimensi politik. Dimensi ekonomi mencakup penyediaan kapasitas dan peluang bagi
masyarakat miskin serta berpendapatan rendah untuk mendapatkan manfaat dari
proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga mengurangi ketidakmerataan
pendapatan, baik intra maupun antar sektor. Dimensi sosial mendukung
pembangunan sosial masyarakat desa yang kurang beruntung dan menyediakan jaring
pengaman sosial. Dimensi politik memperbaiki peluang masyarakat miskin dan
berpendapatan rendah untuk berpartisipasi secara efektif dan setara dalam
proses politik di tingkat desa (dalam Arsyad,dkk, 2011:18-19).
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN
Paradigma merupakan model atau kerangka
berfikir yang menjadi arah pemikiran pemerintah dalam proses kebijakan. Untuk
kebijakan pembangunan sendiri, ada tiga paradigma yang pernah menjadi acuan
pemerintah dalam perkembangan proses pembangunan pedesaan di Indonesia.
Paradigma ini didesain oleh salah satu lembaga internasional World Bank (Bank
Dunia), antara lain:
a.
Integrated
Rural Development (IRD)
Paradigma pembangunan desa terpadu
(integrated rural development) merupakan model pembangunan yang dicetuskan oleh
Bank Dunia (World Bank) sekitar tahun 1970- an. Paradigma ini mengacu pada
paham developmentalisme (modernisasi) ala barat, yang mengusung beberapa hal.
Pertama, IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di sektor pertanian
melalui revolusi hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas sektoral,
sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, didukung oleh penyuluhan,
pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek infrastruktur desa. Kedua, pembangunan
dipimpin oleh negara (state led development). Negara berposisi kuat dan
berperan aktif dalam melancarkan proses pembangunan desa. Tentu saja dengan
model birokrasi yang hierarkis dan terpusat. Dengan pendekatan terpusat,
diharapkan keterpaduan antar sektor dapat tercapai. Ketiga, transfer
pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju. Keempat, menempatkan
masyarakat sebagai penerima manfaat. Kelima, otoritarianisme ditolerir sebagai
prasyarat dan prakondisi untuk melancarkan pertumbuhan ekonomi (Eko dan
Krisdyatmoko, 2006:51). Model ini selanjutnya diadopsi oleh pemerintah
Indonesia rezim Orde Baru.
b.
Community
Driven Development (CDD)
Community Driven Development (CDD) merupakan
sebuah model yang dikembangkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1990-an,
sebagai kritik terhadap pendekatan Integrated Rural Development (IRD).
Paradigma ini mengusung beberapa keyakinan. Pertama, belajar dari program
bantuan (utang) luar negeri yang menimbulkan banyak praktek korupsi di tubuh
birokrasi pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Dunia mendesain model minimalisasi
negara dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan. Dengan kata lain, posisi kunci
pembangunan bukan dipegang oleh negara lagi, melainkan masyarakat. Kedua, CDD
menekankan pada partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan program pembangunan. Negara hanya bertugas sebagai administrator
dan fasilitator. Ketiga, CDD memberi ruang keterlibatan unsurunsur masyarakat
sipil seperti NGOs atau konsultan pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan.
Hal ini sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat, CDD
mengundang sektor swasta untuk terlibat dalam melaksanakan proyek pembangunan
pedesaan. Kelima, CDD mengusung model antar sektor atau antar aktor dalam
pengelolaan pembangunan pedesaan. Keenam, CDD memasukkan unsur good governance
(transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi) sebagai spirit dan kerangka
kerja pembangunan pedesaan (Eko dan Krisdyatmoko, 2006:68-69).
c.
Sustainable
Rural Development (SRD)
Arah dan tujuan pembangunan pedesaan kembali
direvisi dalam dekade belakangan ini dengan mengusung paradigma Sustainable
Rural Development (SRD). Seperti yang dituliskan oleh A.Shepherd (1998), SRD
mengusung beberapa keyakinan, antara lain: a) Pertumbuhan yang berkualitas dan
berkelanjutan, b) Proses pengambilan keputusan melibatkan warga yang marginal,
c) Menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, d) Pengembangan
institusi lokal untuk ketahanan sosial, e) Penghargaan terhadap kearifan lokal
dan teknologi lokal, f) Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas
miskin, g) Organisasi belajar non-hirarkis, h) Peran negara yang aktif dan
responsif: menyiapkan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,
memberikan jaminan distribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi masyarakat,
i) Peran pemerintah daerah yang aktif dan responsif, j) Aktor pemerintahan desa
yang berkapasitas, k) Pemerintahan desa yang otonom dan demokratis (Eko dan
Krisdyatmoko, 2006:80
STRATEGI
PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN
Pembangunan
pedesaan merupakan kebijakan yang telah digalakkan pemerintah sejak orde lama.
Sampai sekarang, kebijakan ini terus berkembang sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi, politik negara dan dituangkan dalam rencana pembangunan nasional.
Selain pembangunan desa yang termuat dalam APBDes, desa memperoleh
program-program pembangunan lagi dari pemerintah, baik pemeritah pusat, maupun
pemerintah daerah. Beberapa program dari pemerintah pusat itu misalnya
PNPM-Mandiri, Desa Sejahtera, dan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Dalam
program tersebut pun masih terdapat beberapa agenda pembangunan lain yang
dibagi dalam berbagai aspek.
Menurut Abdul Wahab (1994:45) pada umumnya
ada empat strategi yang sering dipakai oleh pemerintah yang bersangkutan dalam
rangka mewujudkan tujuan yang termasuk dalam pembangunan desa yaitu : (1) The
Growth (strategi pertumbuhan), (2) The Welfare Strategy (strategi
kesejahteraan) (3) Responsive strategy (strategi yang tanggap kebutuhan
masyarakat/responsif) dan (4) The Integrated and Sustainable Strategy (strategi
terpadu dan berkelanjutan). Hal ini juga disebutkan oleh Rahardjo Adisasmita
dalam bukunya “Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan” (2006:21).
Strategi pertumbuhan pada umumnya bermaksud
untuk mencapai peningkatan yang cepat dalam nilai ekonomis dari output
pertanian dengan cara mengeluarkan sumber-sumber pada para petani yang paling
mudah untuk di jangkau dalam artian psikologis maupun artian administratif.
Biasanya para petani besar, petani-petani modern yang memiliki kemampuan akses
terhadap fasilitas kredit, teknologi padat modal dan pasar. Titik berat
strategi ini adalah pada peningkatan jenis-jenis tanaman yang akan menghasilkan
keuntungan besar, seringkali berupa tanaman yang dieksport atau konsumsi elit.
Strategi kesejahteraan pada dasarnya
dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan penduduk desa
melalui program-program sosial berskala besar seperti misalnya pendirian
klinik-klinik kesehatan dan pusat-pusat perbaikan gizi di desa. Fokus dari
strategi ini lebih menunjuk kepada layanan sosial seperti kesehatan,
transportasi dan pendidikan.
Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat (responsif) merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang
telah dirumuskan untuk menanggapi kebutuhan yang dirumuskan sendiri oleh
penduduk desa, mungkin dengan bantuan pihak luar. Selain itu strategi ini untuk
membantu memperlancar usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh penduduk desa
melalui pengadaan teknonologi serta sumber-sumber yang cocok untuk kepentingan
mereka, terutama yang tidak tersedia di desa.
Strategi terpadu dan berkelanjutan
dimaksudkan untuk mengkombinasikan unsurunsur pokok dari pendekatan. Artinya
ingin mencapai secara simultan tujuan-tujuan yang menyangkut pertumbuhan,
persamaan kesejahteraan, partisipasi, dan kemandirian masyarakat pedesaan.
Strategi ini melibatkan peran aktif pemerintah desa dalam memelihara integritas
masyarakat desa serta memelihara arah, strategi, dan proses pembangunan.
Interaksi yang dibangun berasal dari komponen-komponen organisasi matriks yang
lebih mengejawantahkan hubungan horizontal, daripada vertikal, antara rakyat
dan birokrat (Tjokrowinoto, 2007:43). Individu (masyarakat) bukan lagi berperan
sebagai objek, melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan
sumberdaya, dan mengarahkan proses pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya.
Strategi terpadu dan berkelanjutan juga
menjadi kritik dari beberapa strategi lainnya yang memiliki kelemahan. Strategi
pertumbuhan memiliki kelemahan yaitu semakin memperlebar ketimpangan antara
anggota masyarakat yang kaya dan yang miskin. Kelemahan strategi kesejahteraan
adalah menciptakan ketergantungan masyarakat yang sangat kuat pada pemerintah.
Kelemahan stategi responsif terhadap kebutuhan masyarakat sangat sulit untuk
direalisasikan, diadaptasi dan ditransformasikan secara luas karena terlalu
idealis, sehingga sukar dilaksanakan secara efektif (Adisasmita, 2006:22).
Dalam dekade belakangan ini, implementasi pembangunan diarahkan menggunakan
strategi terpadu dan berkelanjutan yang menjamin adanya koordinasi dan
kesinambungan program, berpusat pada rakyat (pemberdayaan), serta selaras
dengan paradigma SRD.
PROGRAM
PEMBANGUNAN WILAYAH PEDESAAN
Dilihat
dari sejarahnya, selama periode orde lama hingga orde baru, pembangunan
pedesaan lebih ditekankan pada sektor pertanian dan perekonomian desa. Pada
saat orde lama muncul program landreform untuk kesejahteraan masyarakat tani.
Kemudian muncul juga koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan (Eko dan
Krisdyatmiko, 2006: 107). Kemudian pada masa orde baru muncul program-program
pembangunan yang tercantum dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Program-program itu didanai dari APBN. Selain itu saat orde baru muncul
beberapa inpres (instruksi presiden), seperti inpres bandes (bantuan desa).
Desa diberi bantuan dana senilai 100 ribu rupiah dan terus meningkat hingga
mencapai 10 juta rupiah. Kemudian muncul juga program IDT (Inpres Desa
Tertinggal), program pengembangan kawasan terpadu, dan program pembangunan lain
yang dikendalikan oleh hampir semua departemen pemerintahan yang ada.
Setelah orde baru, program pembangunan
pedesaan juga semakin berkembang. Ditambah lagi Indonesia mendapat sejumlah
pinjaman dana cukup besar dari luar negeri seperti bank dunia (World Bank).
Tidak berbeda dengan format lama, setiap departemen pemerintahan masih
mengendalikan beberapa program pembangunan di pedesaan. Pertimbangannya agar
perencanaan pembangunan lebih spesifik dalam setiap sektor, sektor pendidikan, kesehatan,
pertanian, dll. Dengan demikian diharapkan tujuan pembangunan akan tercapai
secara maksimal dan kebutuhan desa di setiap sektor dapat diakomodasi dengan
baik.
Adapun program yang diluncurkan pemerintah
pusat ke pedesaan dari bantuan luar negeri contohnya PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. PNPM sendiri memiliki banyak program cabang
mulai dari PNPM- Mandiri pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Daerah
Tertinggal dan Khusus (P2DTK), hingga PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP).
Program PNPM Mandiri pun merupakan pengembangan dari Program Pembangunan
Kecamatan (PKK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Kemudian ada pula Program pembangunan dari pemerintah kabupaten melalui badan
pemberdayaan masyarakat desa (BPMD) misalnya pembinaan PKK dan simpan pinjam
karang taruna. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten akan menginisiasi beberapa
program pembangunan lagi kepada desa dengan didasarkan pada hasil musrenbang.
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH
Definisi
perencanaan yang sangat sederhana mengatakan
bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah
langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian Perencanaan
dapat pula didefinisikan menetapkan suatutujuan yang dapat dicapai setelah
memperhatikan faktor-faktor pembatas dalam mencapai tujuan
tersebut memilih serta mentapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
tersebut.
Selanjutnya, dapat kita katakan perencanaan ialah
menetapkan suatu tujuan setelah memperhatikan pembatas internal dan pengaruh
eksternal,memilih, serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Namun definisi ini belum memasukkan pengertian perencanaan yang rumit
karena yang diramalkan bukan faktor eksternal saja akan tetapi
faktor internalpun harus menjadi perhatian. Dengan demikian perencanaan
dapat berarti : “ mengetahui dan
menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor
noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktorfaktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran
yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai
tujuan tersebut “
.Dengan
demikian definisi Perencanaan Wilayah adalah mengetahui dan menganalisis
kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor
noncontrollable yang relevan, memperkirakan
faktor-faktor pembatas,menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat
dicapai,menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut,
sertamenetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan definisi diatas, terdapat empat
elemen dasar perencanaan, yaitu :
1.
Merencanakan berarti
memilih
2.
Perencanaan merupakan
alat pengalokasian sumber daya
3.
Perencanaan merupakan
alat untuk mencapai tujuan, dan
4.
Perencanaan
berorientasi masa depan
Perencanaan terkait dengan penyelesaian permasalahan
dimasa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan dimasa
yang akan datang dan dampaknya juga baru terlihat dimasa depan. Hal ini
tidak berarti perencanaan tidak
memperhatikan apa yang terjadi saat ini, karena permasalahan dimasa yang akan
datang adalah produk dari apa yang terjadisaat ini dan pengaruh dari faktor
luar. Secara singkat, pengambilan keputusan ditujukan untuk menyelesaikan suatu
masalah sedangkan perencanaan ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dimasa yang akan datang. Bahwasanya tujuan dalam perencanaan untuk menyelesaikan
masalah, hanya pada umumnya masalah bersifat jangka panjang. Oleh karena itu
faktor-faktor yang harus diperhatikan pun menjadi lebih banyak.
Langkah-langkah
dalam perencanaan wilayah menurut Glasson sebagai berikut :
1.
The
identification of the problem
2.
The
formulation of general goals and more sfecific and measurable objectives
relating to the problem
3.
The
identification of possible constraints
4.
Projection
of the future situation
5.
The
generation and evaluation of alternative courses of action and the production
of a refered plan, wich in generic form may include and policy statement or
strategy as well as a definitive plan.
Sedangkan untuk kebutuhan perencanaan wilayah di
Indonesia perlu diperluas lagi, setidaknya diperlukan langkah-langkah sebagai
berikut :
1.
Gambaran
kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek,menengah dan
jangka panjang.
2.
Tetapkan
visi, misi dan tujuan umum yang didasarkan pada kesepakatan bersama,
3.
Identifikasi
pembatas dan kendala.
4.
Proyeksikan
berbagai variabel terkait.
5.
Tetapkan
sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
6.
Mencari
dan mengevaluasi berbagai alternatif.
7.
Memilih
alternatif yang terbaik.
8.
Menyusun
strategi dan dan kebijakan agar perencanaan tetap berjalansesuai yang
diharapkan.
Sifat perencanaan wilayah yang sekaligus menunjukkan
manfaatnya,dapat dikemu
kakan sebagai berikut :
kakan sebagai berikut :
1.
Perencanaan
wilayah haruslah mampu menggambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi
dan penggunaan lahan di wilayah tersebutdimasa yang akan datang.
2.
Dapat
memandu atau membantu para pelaku ekonomi untuk memilihkegiatan yang perlu
dikembangkan dimasa yang akan datang.
3.
Sebagai
bahan acuan bagi pemerintah untuk mengndalikan danmengawasi arah pertukbuhan
ekonomi dan penmanfaatan lahan.
4.
Sebagai
landasan bagi rencana-rencana lainnya.
5.
Lokasi
itu sendiri dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan, penetapan kegiatan
haruslah bernilai tambah bagi masyarakat.
Perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatansektoral
biasanya less-spatial (kurang
memperhatikan aspek ruang secarakeseluruhan), sedangkan pendekatan regional
lebih bersifat spatial danmerupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan
pembangunan denganrencana tata ruang. Rencana tata ruang berisikan kondisi
ruang/penggunaanlahan saat ini (saat penyusutan) dan kondisi ruang yang dituju,
misalnya 25tahun yang akan datang.
Pendekatan
sektoral adalah dimana seluruh kegiatan ekonomi didalam wilayah perencanaan
dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor dianalisis satu
persatu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apayang dapat
ditingkatkan dan dimana lokasi dari peningkatantersebut. Dalam pendekatan
sektoral, untuk setiap sektor/komoditi, semestinya dibuat analisis sehingga
dapat member jawaban tentang :
1.
Sektor/komoditi
apa yang memiliki competitive advantage diwilayah tersebut, artinya komoditi
tersebut dapat bersaing di pasar global;
2.
Sektor/komoditi
apa yang basis dan non basis;
3.
Sektor/komoditi
apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi;
4.
Sektor/komoditi
apa yang memiliki forward linkage dan backward linkage yang tinggi;
5.
Sektor/komoditi
apa yang perlu dikembangkan untuk memenuhikebutuhan minimal wilayah tersebut;
6.
Sektor/komoditi
apa yang dapat menyerap tenaga kerja.
Pendekatan regional sangat berbeda dengan pendekatan
sektoral walaupun tujuan akhirnya adalah sama. Dalam pendekatan sektoral
terlebih dahulu memperhatikan sektor/komoditi yang kemudian setelah
dianalisis,menghasilkan proyek-proyek yang diusulkan untuk dilaksanakan. Pendekatan
regional dalam pengertian lebih luas, selain memperhatikan penggunaan ruang untuk
kegiatan produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan
kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan
jaringan-jaringan penghubung sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat
dihubungkan secara efisien. Pendekatan regional semestinya diharapkan dapat
menjawab berbagai pertanyaan yang belum terjawab diantaranya sebagai berikut :
1.
Lokasi
yang akan berkembang
2.
Penyebaran
penduduk dimasa yang akan dating
3.
Adanya
struktur perubahan ruang wilayah tersebut
4.
Perlunya
penyediaan fasilitas sosial.
5.
Perencanaan
jaringan penghubung.
Atas dasar pertimbangan pendekatan regional dan
pendekatan sektoral, pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara
pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Langkah-langkah penggabungan kedua
pendekatan tersebut, misalnyadalam penyusunan RPJM secara umum dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1.
Tetapkan
visi misi serta tujuan umum
2.
Lakukan
pendekatan sektoral
3.
Uraian
komoditi
4.
Tentukan
parameter setiap komoditi tersebut
5.
Proyeksi
kebutuhan dan pemasaran
6.
Minat
investor
7.
Perubahan
produktifitas pertahun
8.
Rekapitulasi
kebutuhan lahan
9.
Gabungkan
setiap input kebutuhan komoditi
10. Kebutuhan sumber daya
11. Penetapan lokasi untuk setiap komoditi
12. Spesialisasi komoditi untuk menghindari
tumpang tindih komoditi
13. Volume realisitis komoditi dan lahan
14. Proyeksi dalam lima tahun kedepan
15. Perkiraan pertumbuhan sektor lainnya
16. Pertumbuhan PDRB dimasa yang akandatang
17. Proyeksi jumlah penduduk masa akan dating
18. Proyeksi penggunaan lahan mendatang
19. Perkembangan wilayah kedepan
20. Kebutuhan berbagai fasilitas
21. Perluasan lokasi
22. Total kebutuhan investasi
23. Proyeksi kekampuan keuangan pemerintah
24. Perbandingan anggaran tersedia dengan rencana
pembangunan
25. Perencanaan jangka menengah
26. Evaluasi kemampuan kelembagaan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Zaini, Afirzal. 2014. “Analisa Perencanaan Pembangunan Wilayah di Daerah Jawa Barat”.
Jogja. Diakses pada : 30 Juni 2018. Sumber : http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=79375&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-282942-chapter1.pdf
Sarmento,
Lala. 2012. “Resume Perencanaan
Pembangunan Wilayah”. Banten. Diakses pada : 1 Juli 2018. Sumber : https://www.scribd.com/doc/114223867/Resume-Perencanaan-Pembangunan-Wilayah
Komentar
Posting Komentar